Hit enter after type your search item

Gunakan Sampah Karung Bekas, Produk Gunagoni Malah Dicari

/
/

Melihat tumpukan karung kedelai yang tak terpakai rupanya menumbuhkan rasa ‘gatal’ di diri Andreas Bimo Wijoseno. Dari tangan kreatif pria yang akrab disapa Wijo ini, lahirlah sebuah brand yang mengandalkan karung goni sebagai bahan utamanya.
Keberadaan sampah kerap kali dipandang sebelah mata. Padahal belum tentu sesuatu yang dianggap sampah tak punya nilai jual. Hal ini telah dibuktikan oleh Wijo yang telah menjual hampir 50 pcs produk berbahan utama karung goni di pakarinfo. Simak obrolan kami dengan pria kelahiran 6 Februari 1974 ini seputar brand yang berbasis di Sleman, Yogyakarta ini.
Andreas Bimo Wijoseno, owner Gunagoni
Mas Wijo, ceritakan dong bagaimana awalnya membuat brand ?
Saya hobinya jalan-jalan ke pasar tradisional. Saat itu saya lihat ada tumpukan goni. Awalnya saya beli aja gatau mau buat apa karena murah. Lalu suatu saat ada temenku yang punya tas dari goni terus rusak. Saya coba perbaiki, ternyata bisa. Akhirnya dia sarankan saya untuk membuat tas dari goni.

Baca juga: 

Apa saja jenis produk yang dihasilkan Gunagoni?
Saat ini kita ada tas ransel, topi, pouch, dan notes book.
Kapan usaha ini dimulai?
Kira-kira pada April tiga tahun yang lalu.
Dari mana Mas Wijo belajar mengolah karung goni menjadi tas dan produk lainnya?
(Saya belajar) otodidak sambil ketemu, dadakan aja. Untuk mengukur saja saya nggak pakai meteran, hanya berdasarkan jari saya, karena kalau pakai meteran saya sering lupa. Selain itu saya sering nonton penjahit juga. Bagaimana caranya hanya tinggal lipat dan jahit, sebisa mungkin jangan sampai bikin sampah lagi.

Baca juga: 

Ngomong-ngomong, apa arti di balik nama Gunagoni?
Gunagoni artinya (meng)guna goni, bekas kembali berarti
Apa sih tantangan dari membuat produk berbahan bekas seperti karung goni?
Tantangannya itu rasa malas. Hahaha. Goni harus dicuci dulu karena itu sampah. Menjahitnya berat. Saat dijahit kadang nyangkut di mesinnya. Jadi kalau saya lagi nggak semangat mending nggak saya jahit. Karena nanti malah rusak semua.
Apa saja produk yang dihasilkan Gunagoni saat ini dan berapa range harganya?
Ada tas, notes, dan topi juga. Harganya lima puluh sampai dua ratus ribu rupiah.
Dalam sebulan berapa rata-rata produk yang dihasilkan?
Kira-kira maksimal 2,5 lusin. Karena cuma saya sama istri saya berdua yang mengerjakan. Istri saya pasang kancing atau aksesoris. Kalau cuci-cuci (karung goni) berdua sama istri. Yang jahit saya sendiri. Karena belum ada yang mau bantuin.

Baca juga: 

Wah ternyata cukup sulit ya mengolahnya. Lantas kalau bagian menyenangkan dari membangun brand ini?
Saya senang, ada keset naik kelas. Ada keset ditaro di kepala, jadi tas. Selain itu saya senang karena di sini saya nggak mau mengikuti selera pasar. Disuruh mewarnai saya nggak mau. Disuruh memberi lapisan didalam saya juga nggak mau. Sebab nanti malah akan menambah sampah baru. Di sini karena saya melawan kemauan pasar, artinya produk saya bisa ditolak atau malah diterima. Di situ ada adrenalinnya.
Cukup berani juga ya Mas Wijo ini, lalu bagaimana strategi Mas Wijo untuk memasarkan produk
Percaya diri aja kalau itu (nanti) diterima, karena saya beberapa kali ditolak. Tapi lama-lama diterima. Terus saya kasih-kasih ke orang ada juga yang mau. Sulitnya karena kan ini barang kotor. Tapi ya sekarang malah ada orang yang jauh-jauh ke tempat saya di kampung. Bela-belain pingin beli produk saya. Saya bingung juga rupanya goni dicari. Hahaha…
Lantas, apa cita-cita atau harapannya untuk Gunagoni ke depannya?
Nggak harus besar-besar jadi industri, pinginnya seperti UKM aja. Kan di setiap kota ada karung goni. Pinginnya orang-orang ‘yuk bikin goni juga’. Nggak perlu jadi besar, tapi semakin viral dan banyak yang mengkreasikan goni jadi barang yang bermanfaat.

  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Pinterest
This div height required for enabling the sticky sidebar